TEKNIK ANALISA BIOMOLEKULER
PCR (POLYMERASE CHAIN
REACTION)
KELOMPOK 4:
SITI NURJANNAH 115130100111001
WIDYA PUSPITANINGSIH 115130100111003
PUTIK CHIPTADINING 115130101111001
SHINTANY ROCHMATIL 115130101111003
NUR LAILATUL MUFIDA 115130101111014
FADILLAH ASYIAH 115130106111001
PKH A 2011
PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan
metode untuk amplifikasi potongan DNA secara in vitro pada
daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida. Teknik ini
mampu memperbanyak sebuah urutan 105-106-kali lipat dari jumlah nanogram dari
DNA template. Proses ini mirip dengan proses replikasi DNA secara in
vivo yang bersifat semi konservatif. Polymerase Chain Reaction (PCR)
ini dapat digunakan untuk amplifikasi urutan nukleotida, menentukan kondisi
urutan nukleotida suatu DNA yang mengalami mutasi, pada bidang kedokteran
forensik serta melacak asal-usul sesorang dengan membandingkan “finger print”. Tak hanya itu, dalam dunia veteriner, PCR banyak digunakan, misal untuk diagnosis
cepat virus avian influenza tipe a
subtipe h5 dari spesimen lapangan dengan metode onestep simplex-PCR, pengembangan nested PCR untuk deteksi bovine
herpesvirus-1(BHV-1) pada sediaan usap mukosa hidung dan semen asal sapi, diagnosis penyakit malignant
catarrhal fever (MCF) di Indonesia, dan deteki DNA
canine parvovirus tipe 2 (CPV-2) isolat lokal.
Sehingga
sebagai bagian dari dunia medis, mahasiswa kedokteran hewan dituntut untuk
memahami perkembangan analisa biomolekuler PCR. Dalam makalah ini akan
dipaparkan tentang pengertian, metode, dan macam-macam jenis PCR serta
pengembangannya.
1.2 Tujuan
Makalah ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman mahasiswa tentang metode PCR dalam dunia
veteriner.
BAB II
ISI
2.1
Pengertian
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah
metode untuk amplifikasi (perbanyakan) primer oligonukleotida diarahkan secara
enzimatik urutan DNA spesifik. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis
pada tahun 1985. Teknik ini mampu memperbanyak sebuah urutan 105-106-kali lipat
dari jumlah nanogram DNA template dalam latar belakang besar pada sequence yang
tidak relevan (misalnya dari total DNA genomik). Sebuah prasyarat untuk
memperbanyak urutan menggunakan PCR adalah memiliki pengetahuan, urutan segmen
unik yang mengapit DNA yang akan diamplifikasi, sehingga oligonucleotides
tertentu dapat diperoleh. Hal ini tidak perlu tahu apa-apa tentang urutan
intervening antara primer. Produk PCR diamplifikasi dari template DNA
menggunakan DNA polimerase stabil-panas dari Thermus aquaticus (Taq DNA
polimerase) dan menggunakan pengatur siklus termal otomatis
(Perkin-Elmer/Cetus) untuk menempatkan reaksi sampai 30 atau lebih siklus
denaturasi, anil primer, dan polimerisasi. Setelah amplifikasi dengan PCR,
produk ini dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamida dan secara
langsung divisualisasikan setelah pewarnaan dengan bromida etidium. Polymerase
Chain Reaction (PCR) ini dapat digunakan untuk amplifikasi urutan nukleotida,
menentukan kondisi urutan nukleotida suatu DNA yang mengalami mutasi, pada
bidang kedokteran forensik dan melacak asal-usul sesorang dengan membandingkan
“finger print”.
2.2 Metode
Ada 3 tahap dalam kerja PCR, yaitu:
1.
Denaturing adalah proses memisahkan 2 untai
pilinan DNA. Selama proses denaturasi, double stranded DNA akan membuka menjadi single stranded DNA. Hal
ini karena suhu tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa
nitrogen yang komplemen. Tahap ini berlangsung sekitar 1 hingga 2 menit. Seluruh
reaksi enzim tidak berjalan, misalnya reaksi polimerisasi pada siklus yang
sebelumnya. Denaturasi biasanya dilakukan antara suhu 90 oC –
95 oC.
2.
Annealing (
Penempelan Primer) adalah tahapan dimana primer forward dan reverse mencari
pasangannya di untai-untai DNA. Jika cocok maka primer akan melekat. Pada
proses annealing ini, ikatan hidrogen akan terbentuk antara
primer dengan urutan komplemen pada template selama 1-2 menit. Proses ini
biasanya dilakukan pada suhu 50 oC – 60 oC.
Selanjutnya, DNA polymerase akan berikatan sehingga ikatan hidrogen tersebut
akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila dilakukan reaksi
polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 72 oC.
3.
.Reaksi Polimerisasi
(extension) Umumnya,
reaksi polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72 oC selama 1 menit. Primer yang
telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3’nya dengan
penambahan dNTP yang komplemen dengan template oleh DNA polimerase.
2.3 Jenis PCR
Adapun macam-macam tipe dan modifikasi dari PCR adalah sebagai
berikut:
a. Real-Time PCR
Real-Time PCR adalah suatu metode
analisa yang dikembangkan dari reaksi PCR. Real time ini juga dikenal sebagai quantitative
real time polymerase chain reaction atau Q-PCR. Dimana teknik ini digunakan
untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus menghitung (kuantifikasi) jumlah
target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut. Real time PCR memungkinkan
dilalukan deteksi dan kunatifikasi (sebagai nilai absolut dari hasil
perbanyakan DNA atau jumlah relatif setelah dinormalisasi terhadap input DNA
atau gen-gen penormal yang ditambahkan) sekaligus terhadap sequens spesifik
dari sampel DNA yang dianalisis. Pada analisa PCR konversional deteksi
keberadaan DNA dilakukan pada akhir reaksi dan pengamatan keberadaan DNA hasil
amplifikasi dilakukan di gel agarose setelah dilakukan proses elektroforesis.
Sedangkan analisa menggunakan Real Time PCR memungkinkan untuk dilakukan pengamatan
pada saat reaksi berlangsung, keberadaan DNA hasil amplifikasi dapat diamati
pada grafik yang muncul sebagai hasil akumulasi fluoresensi dari
probe(penanda). Pada Real Time PCR pengamatan hasil tidak lagi membutuhkan
tahap elektroforensis, sehingga tidak lagi dibutuhkan gel agarose dan
penggunaan Ethidium Bromide (EtBr) yang merupakan senyawa karsinogenik. Cara
kerja dari Real Time mengikuti prinsip umum reaksi PCR, utamanya adalah DNA
yang telah diamplifikasi dihitung setelah diakumulasikan dalam reaksi secara
real time sesudah setiap siklus amplifikasi selesai.
b. Reverse Transcriptase-Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR)
Reverse Transcriptase-PCR juga sering
dikenal dengan kinetic polymerase chain reaction. RT-PCR merupakan modifikasi
dari PCR, dimana yang diamplifikasi berupa m-RNA. Pada metode PCR biasa sumber
sampel yang digunakan adalah DNA yang diekstrak dari sel atau jaringan. Pada
RT-PCR sampel yang digunakan bukan DNA melainkan RNA. Sebagaimana kita ketahui,
RNA merupakan asam ribonukleat rantai tunggal, sedangkan DNA adalah asam
ribonuleat rantai ganda. Ciri khas RNA adalah tidak terdapat gugus basa timin
(T) melainkan diganti oleh urasil (U). Proses RT PCR dibantu oleh enzim Reverse
Transcriptase, karena hanya enzim jenis ini yang dapat mensintesis DNA dengan
cetakan RNA karena polimerase DNA hanya dapat mensintesis dengan menggunakan
cetakan DNA. Pertama-tama RNA diubah dulu menjadi DNA dengan menggunkan enzime
reverse transcriptase yang disebut dengan komplemen DNA (cDNA) . dalam hal ini disintesis
cDNA dari perpasangan anatar gugus basa U dan A serta G dan C. Dari cDNA inilah
dilipat gandakan segemn DNA yang mirip urutan basa nukleotidanya dengan RNA,
hanya U diganti kembali ke T. Karena adanya penambahan proses sintesis cDNA,
tahapan proses PCR bertambah pula. Tahap pertama terjadi proses anneling untuk
memasangkan primer untuk memperpanjang segmen cDNA. Setelah terbentuk segmen
cDNA ini, baru kemudian masuk kepada proses PCR biasa. RT-PCR peting digunakan
sebagai alat diagnostik untuk mendeteksi dan menentukan serotipe virus, sebagai
informasi untuk studi epidemiologi.
c. Nested PCR
Nested PCR adalah suatu teknik perbanyakan (replikasi) sampel DNA
menggunakan bantuan enzim DNA polymerase yang menggunakan dua pasang primer
untuk mengamplifikasi fragmen. Dengan menggunakan nested PCR, jika ada fragmen
yang salah diamplifikasi maka kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk
kedua kalinya oleh primer yang kedua. Dengan demikian, nested PCR adalah PCR
yang sangat spesifik dalam melakukan amplifikasi. Nested PCR dan PCR biasa
berguna untuk memperbanyak fragmen DNA tertentu dalam jumlah banyak. Dimana
pada nested PCR digunakan 2 pasang primer sedangkan pada PCR biasa hanya
menggunakan 1 pasang primer. Oleh karena itu hasil fragmen DNA dari nested PCR
lebih spesifik (lebih pendek) dibandingkan dengan PCR biasa. Waktu yang
diperlukan dalam reaksi nested PCR lebih lama daripada PCR biasa karena pada
nested PCR dilakukan 2 kali reaksi PCR sedangkan pada PCR biasa hanya 1 kali
reaksi PCR. Selain itu, keuntungan nested PCR adalah meminimalkan kesalahan
amplifikasi gen dengan menggunakan 2 pasang primer.
Mekanisme kerja dari nested PCR sendiri
yakni pada Fase Denaturasi, Pertama-tama DNA mengalami denaturasi lalu memasuki
fase penempelan. Fase Penempelan, sepasang primer pertama melekat di kedua utas
tunggal DNA dan mengamplifikasi DNA di antara kedua primer tersebut dan
terbentuklah produk PCR pertama. Fase pemanjangan, produk PCR pertama tersebut
dijalankan pada proses PCR kedua di mana pasangan primer kedua (nested primer)
akan mengenali sekuen DNA spesifik yang berada di dalam fragmen produk PCR
pertama dan memulai amplifikasi bagian di antara kedua primer tersebut.
Hasilnya adalah sekuens DNA yang lebih pendek daripada sekuens DNA hasil PCR
pertama.
d. Multiplex-PCR
Multiplex PCR merupakan beberapa set
primer dalam campuran PCR tunggal untuk menghasilkan amplikon dari berbagai
ukuran yang spesifik untuk sekuens DNA yang berbeda. Dengan penargetan gen
sekaligus, informasi tambahan dapat diperoleh dari lari-tes tunggal yang tidak
akan membutuhkan beberapa kali reagen dan lebih banyak waktu untuk melakukan.
temperatur Annealing untuk masing-masing set primer harus dioptimalkan untuk
bekerja dengan benar dalam reaksi tunggal, dan ukuran amplikon. Artinya,
panjangnya pasangan basa harus berbeda cukup untuk membentuk band yang berbeda
ketika divisualisasikan dengan elektroforesis gel.
e. PCR-ELISA
PCR-ELISA merupakan metode yang digunakan untuk menangkap asam
nukleat yang meniru prinsip dari enzim linked immunosorbant yang terkait.
Dimana dalam sebuah pengujian hibridisasi hasil produk dari PCR akan terdeteksi
dengan metode ini. Dengan metode inilah dapat dilakukan pengukuran sequen
internal pada produk PCR. Metode ini lebih dipilih karena lebih murah
dibandingkan metode Real Time PCR.
PCR-ELISA telah digunakan sejak akhir
1980-an dan telah berkembang untuk mendeteksi sequen tertentu dalam produk PCR.
Meskipun banyak metode yang tersedia untuk mendeteksi sequen tersebut, ELISA
PCR berguna untuk mendeteksi dan membedakan antara beberapa sasaran dari sequen
yang diinginkan. ELISA PCR ini juga berguna untuk screening beberapa sampel,
terutama bila jumlah sampel tidak menjamin. Salah satu aspek yang paling
berguna dari PCR-ELISA adalah kemampuannya dalam membedakan antara produk
reaksi perubahan polimerase yang dihasilkan dari seperangkat primer yang mengandung
variasi sequen, yaitu sequen yang bervariasi antar primer.
2.4 Aplikasi Teknik RT-PCR dalam Peneguhan
Diagnosis Penyakit NewCastle Disease
lapang pada Ayam Buras di Bali
Newcastle disease
(ND) merupakan penyakit yang disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1
(APMV-1). Pada penelitian ini, diagnosis kasus newcastle disease (ND)
lapangan dilakukan pada ayam bukan ras yang bersifat akut melalui hasil
pemeriksaan Laboratorium.
Materi dan Metode
Sebanyak sepuluh ekor sampel ayam buras umur 1,5-4 bulan
telah diperiksa dan terlihat gejala klinis serta mengalami perubahan secara
patognomonik. Gejala klinis yang teramati meliputi: anoreksia, lesu, bersin,
batuk, dan diare putih kehijauan dengan diagnosis sementara sebagai penyakit ND
yang bersifat akut. Sampel diambil dari organ yang mengalami perubahan
patognomonis seperti pada proventrikulus, ventrikulus, seka tonsil, paru-paru
dan otak. Semua sampel digerus untuk dijadikan suspensi dengan konsentrasi 10%
dalam larutan phosphat buffered saline (PBS) steril, ditambah antibiotik dan
disuntikkan pada ruang alantois telur ayam bertunas (TAB) umur 9-10 hari. Telur
diinkubasikan pada inkubator suhu 37° C selama 2-3 hari. Cairan alantois
dikoleksi pada hari ke-3 dan digunakan sebagai sumber antigen. Konfirmasi virus
dilakukan dengan serum ND standar menggunakan uji hemaglutinasi (HA) dan uji
hambatan hemaglutinasi (HI) teknik mikrotiter prosedur baku (OIE, 2002) dan
dikonfirmasi dengan uji reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR)
menggunakan primer FNDIFP (5’- CCCCGTTGGAGGCATAC-3’) dan FNDIBP
(5’-TGTTGGCAGCATTTTGATTG-3’).
Uji Hemaglutinasi
dengan Teknik Mikrotiter
Uji hemaglutinasi dengan teknik mikrotiter diawali
dengan menambahkan masing-masing 0,025 ml PBS pada setiap sumuran plat mikro menggunakan
mikro pipet kecuali pada sumuran pertama. Sebanyak 0,025 ml cairan alantois
yang diuji ditambahkan pada sumuran pertama dan kedua. Pengenceran seri
berkelipatan dua dilakukan mulai dari sumuran ke-2 sampai ke-11 dengan
menggunakan pengencer mikro. Sumuran plat mikro ke-1 sampai ke-12 selanjutnya
ditambahkan dengan 0,025 ml PBS. Sebanyak 0,05 ml sel darah merah unggas 0,5%
ditambahkan ke dalam setiap sumuran plat mikro dan dicampur menggunakan
pengayak mikro selama 30 detik. Reaksi positif ditandai dengan adanya bentukan
kristal pada campuran tersebut. Kebalikan dari pengenceran tertinggi yang masih
dapat menghemaglutinasi sel darah merah adalah merupakan titer virus ND.
Uji Hambatan Hemaglutinasi
Uji HI bertujuan untuk mengkonfirmasi virus ND menggunakan
plat mikro berbentuk U dengan 96 sumuran. Proses tersebut dilakukan dengan 2
kali ulangan berdasarkan prosedur baku (OIE, 2009). Sebanyak 0,025 ml PBS
diteteskan ke dalam sumuran ke-2 sampai ke-12. Sumuran pertama dan kedua diisi
dengan serum standar ND kemudian diencerkan secara berseri kelipatan dua mulai
dari sumuran ke-2 sampai ke-11 dengan pengencer mikro. Masing-masing sumuran
plat mikro ditambahkan dengan 0,025 ml suspensi antigen ND 4 unit HA mulai dari
sumuran nomor 1 sampai nomor 11. Sumuran nomor 12 hanya diisi dengan PBS
sebanyak 0,025 ml. Tahapan berikutnya adalah dilakukan pengayakan selama 30
detik, selanjutnya plat mikro ditempatkan pada suhu kamar selama 30 menit.
Suspensi sel darah merah konsentrasi 0,5% ditambahkan ke dalam sumuran ke-1
sampai ke-12 sebanyak 0,05 ml lalu diayak kembali selama 30 detik. Plat mikro
ditempatkan pada suhu kamar dan diamati setiap 15 menit. Hasil positif ditandai
dengan terjadinya hambatan hemaglutinasi berupa pengendapan sel darah merah di
dasar sumuran plat mikro.
Uji RT-PCR
Amplifikasi
RT-PCR dilakukan dengan menggunakan enzim SuperScriptTM III onestep RT-PCR
System with Platinum® Taq DNA Polymerase (Invitrogen). Siklus RT-PCR dilakukan
dengan kondisi 50° C selama 1 jam, 95° C selama 7 menit, 94° C selama 45 detik,
52° C selama 45 detik, dan elongasi pada suhu 72° C selama 1 menit 30 detik
disebut satu siklus. Siklus pertama diulang kembali sebanyak 44 kali. Tahap
penyempurnaan kerja enzim dilakukan pada suhu 72° C selama 5 menit untuk
memperoleh fragmen yang sempurna. Sekuens primer yang digunakan FNDIFP
(5’-CCCCGTTGGAGGCATAC-3’) dan FNDIBP (5’-TGTTGGCAGCATTTTGATTG-3’). Pengamatan
hasil PCR dilanjutkan dengan melakukan elektroforesis. Sepuluh persen dari
produk PCR ditambahkan loading dye (bromphenol-blue dan cyline cyanol) sebanyak
1 μl, dan selanjutnya dielektroforesis pada gel konsentrasi 1% (1 gram agarose
dalam 100 ml TAE) yang ditambahkan etidium bromide sebanyak 2,5 μl bersama
100-bp ladder (Invitrogen) sebagai marker. Visualisasi DNA menggunakan
transluminator ultraviolet (UV) dan hasilnya didokumentasikan dengan kamera dan
film polaroid (OIE, 2002).
Hasil
Sebanyak 10 sampel kasus lapang ayam
buras yang dijadikan bahan penelitian telah dinyatakan positif ND dengan uji
RT-PCR
Hasil isolasi pada TAB menunjukkan
adanya pertumbuhan virus yang ditandai dengan kematian embrio pada hari ketiga
disertai dengan perdarahan dan gangguan pertumbuhan (embrio kerdil). Cairan
alantois TAB selanjutnya diidentifikasi dengan uji serologi HA/HI, sebagian menunjukkan
hasil positif. Konfirmasi lebih lanjut terhadap hasil uji HA/HI yang negatif
menggunakan uji RT-PCR, ternyata hasilnya positif. Hasil sekuensing menunjukkan
bahwa virus tersebut merupakan virus ND lapang yang bersifat velogenik (data
tidak ditunjukkan).
Pada uji RT-PCR, genomik RNA virus ND
diisolasi dari sampel dengan digesti proteinase K, diikuti dengan ekstraksi
menggunakan trizol (Invitrogen), kemudian dielektroforesis untuk mengetahui
panjang produk basa dari gen yang diuji. Uji RT-PCR tidak bersifat spesifik
karena dapat digunakan untuk menguji semua antigen, namun uji tersebut bersifat
sangat sensitif karena hanya memerlukan sampel antigen yang sedikit. Uji RT-PCR
mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji HA/HI.
Diagnosis secara molekular menggunakan
teknik RT-PCR dan sekuensing dapat mendeteksi virus secara cepat dan akurat.
Virus ND patogen mempunyai sekuens 112R/K-R-Q-R/K-R116
dengan C terminal dari protein F2 dan F (fenilalanin) yang merupakan residu
pada posisi 117, sedangkan virus yang kurang patogen mempunyai sekuens 112G/E-K/R-Q-G/E-R116
dengan L (leusin) pada posisi 117 (OIE, 2002). Hasil sekuensing isolat kasus ND
lapangan kemudian dianalisis dengan Mega 4.0, maka gambaran phylogenetic tree
akan menjawab kejadian penyakit ND yang bersifat endemik di Indonesia.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji serologi HA/HI
yang telah dikonfirmasi dengan uji RT-PCR maka semua sampel ayam buras yang
diteliti adalah positif terinfeksi oleh virus penyakit ND.
BAB
III
KESIMPULAN
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan metode untuk
amplifikasi potongan DNA secara in vitro pada daerah spesifik
yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleotida. Teknik ini mampu
memperbanyak sebuah urutan 105-106-kali lipat dari jumlah nanogram dari DNA
template.
DAFTAR PUSTAKA
Kencana,
Gusti Ayu Yuniati., Kardena, I Made ., dan Mahardika, I Gusti Ngurah Kade.
2012. Peneguhan Diagnosis Penyakit NewCastle Disease Lapang pada Ayam Buras di
Bali Menggunakan Teknik RT-PCR. Jurnal Kedokteran Hewan ISSN :
1978-225X. Vol. 6 No. 1, Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar