SORRY MY TASK DONT COMPLETE. JUST FOR LEARN
STUDI
KASUS
TABM “BRUCELLOSIS”
OLEH:
SITI
NURJANNAH 115130100111001
PUTIK
CHIPTADINING 115130101111001
NUR
LAILATUL MUFIDA 115130101111014
FERRIANTO
DKW 115130101111022
EKA
NORA VITALOKA 115130101111017
PROGRAM
KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2013
STUDI KASUS
Brucellosis adalah penyakit
infeksius yang tinggi yang menginfeksi baik manusia maupun hewan. Peralatan
standar yang biasa digunakan untuk mediagnosa bakteri ini dengan uji serologis
dan uji mikrobiologis. Di kasus ini kita mengevaluasi kemungkinan uji molekuler
sebagai alat diagnosa untuk mendeteksi Brucella
sp pada susu kerbau. Tujuannya, pertama kita membandingkan perbedaan
protokol ekstraksi DNA dan metode PCR pada sampel susu buatan. Metode paling
sensitif yang digunakan untuk memeriksa susu serologis positif dan negatif
susu. Hasil dari molekuler dibandingkan dengan hasil serologis dan
bakteriologis. Diambil 53 Susu sampel dari susu yang positif brucella (dengan
rose bengal dan CFT) adalah positif dengan ELISA, 37 positif dengan kultur, 33 positif dengan PCR,
dan 35 positif dengan real-time PCR. Dari 37 kultur sampel positif, total 25
positif dengan PCR dan 26 positif dengan real-time PCR. Dari 16 sampel negatif
kultur, 8 positif dengan PCR dan 9 positif dengan real-time PCR. Demikian,
meskipun Kultur menunjukkan sensivitas yang lebih bagus daripada PCR, beberapa
hewan ditemukan positif dengan metode serologis dan tes PCR, negatif dengan
kultur susu. Kombinasi dari penggunaan tes bakteriologis dan molekuler
meningkatkan angka positif sampel hingga 46. Kesimpulannya, hasil itu
menyarankan bahwa aplikasi simultan dari 2 metode deteksi langsung (kultur dan
PCR) lebih bermanfaat daripada tes tunggal untuk mendiagnosa Brucella sp. pada susu.
1. TERMINOLOGI
a. Brucellosis adalah penyakit hewan menular
yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder beberapa jenis
hewan lainnya dan manusia. Brucellosis disebabkan bakteri Brucella abortus.
Abortus karena Br. abortus umumnya terjadi dari bulan ke-6 sampai ke-9
periode kebuntingan. Kejadian abortus berkisar antara 5-90% di dalam suatu
kelompok ternak tergantung pada berat ringan infeksi, daya tahan hewan bunting,
virulensi organisme dan faktor-faktor lain (Toelihere, 1985).
b. Protokol
ekstraksi atau isolasi asam nukleat merupakan teknik yang melibatkan proses fisik dan kimia.
Proses tersebut biasanya dimulai dengan homogenisasi jaringan untuk
meningkatkan jumlah sel atau permukaan area yang akan dilisiskan. Homogenisasi
jaringan sangat berguna untuk mengekstrak asam nukleat dari organ atau
jaringan. Langkah selanjutnya biasanya adalah permeabilisasi sel target.
Permeabilisasi sel dapat dilakukan dengan menggunakan detergen non-ionik
(sehingga tidak mengikat asam nukleat) seperti Tween, SDS (Sodium Dodecyl
Sulfate), Nonidet, Laureth dan Triton. Untuk melepaskan asam nukleat di
dalamnya sel perlu dilisiskan terlebih dahulu (biasanya menggunakan bufer
hipotonik). Langkah selanjutnya berupa degradasi dan presipitasi protein
(dengan pemanasan, enzime proteinase atau dengan menggunakan garam chaotropic).
Asam nukleat yang diperoleh dapat dipresipitasi untuk dikonsentrasikan ke dalam
volume yang lebih kecil. Presipitat yang sering digunakan adalah isopropanol,
etanol, dan PEG (polyethylene glycol). Setelah dilakukan pencucian,
langkah terakhir adalah solubilisasi asam nukleat.
c. PCR adalah
suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu
dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA
target dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer, dan dilakukan
di dalam thermocycler. PCR adalah suatu metode yang menggunakan
komponen-komponen replikasi DNA untuk mereplikasi suatu fragmen DNA yang
spesifik di dalam tabung reaksi. Metode ini dikembangkan untuk mempercepat
isolasi DNA spesifik tanpa membuat dan melakukan pustaka genom. Dua primer
oligonukleotida pendek digunakan untuk mengapit daerah DNA yang akan
diamplifikasi.
d. Rose Bengal Test (RBT) adalah salah satu
dari kelompok pengujian yang menggunakan antigen Brucella, pengujian ini
mengandalkan prinsip dari kemampuan antibodi IgM dalam mengikat antigen dalam
serum. RBT merupakan pengujian dengan menggunakan cara aglutinasi dengan cara
mereaksikan antigen dan antibodi, setiap aglutinasi yang dihasilkan mendakan
positip reaksi. Pengujian ini merupakan screening test yang sangat baik
tetapi juga sangat sensitif untuk diagnosa hewan individu terutama hewan yang divaksinasi
(WHO 2006). Pengujian ini merupakan uji cepat aglutinasi yang hanya dalam waktu
kira-kira 4 menit bisa dilihat hasilnya.
e. CFT merupakan uji serologis yang memungkinkan mendetekasi antibodi yang dapat
mengaktifkan komplemen. Imunoglobulin pada sapi yang dapat diaktifkan oleh
komplemen ini adalah IgM dan IgG. Menurut beberapa literatur CFT ini tidak
menunjukan sensitivitas yang tinggi tetapi menunjukan spesifisitas yang tinggi
(Godfroid 2010). Reaksi positif tidak dapat membedakan antara hewan yang
divaksin dan infeksi alam (Dirkeswan 2000)
f. Real-Time PCR adalah suatu metode
analisa yang dikembangkan dari reaksi PCR. Real time ini juga dikenal sebagai quantitative real time polymerase chain
reaction atau Q-PCR. Dimana teknik ini digunakan untuk mengamplifikasi
(memperbanyak) sekaligus menghitung (kuantifikasi) jumlah target molekul DNA
hasil amplifikasi tersebut. Real time PCR memungkinkan dilalukan deteksi dan kuantifikasi (sebagai nilai absolut
dari hasil perbanyakan DNA atau jumlah relatif setelah dinormalisasi terhadap
input DNA atau gen-gen penormal yang ditambahkan) sekaligus terhadap sequens
spesifik dari sampel DNA yang dianalisis. Pada analisa PCR konversional deteksi
keberadaan DNA dilakukan pada akhir reaksi dan pengamatan keberadaan DNA hasil
amplifikasi dilakukan di gel agarose setelah dilakukan proses elektroforesis.
Sedangkan analisa menggunakan Real Time PCR memungkinkan untuk dilakukan
pengamatan pada saat reaksi berlangsung, keberadaan DNA hasil amplifikasi dapat
diamati pada grafik yang muncul sebagai hasil akumulasi fluoresensi dari
probe(penanda). Pada Real Time PCR pengamatan hasil tidak lagi membutuhkan
tahap elektroforensis, sehingga tidak lagi dibutuhkan gel agarose dan
penggunaan Ethidium Bromide (EtBr) yang merupakan senyawa karsinogenik. Cara
kerja dari Real Time mengikuti prinsip umum reaksi PCR, utamanya adalah DNA
yang telah diamplifikasi dihitung setelah diakumulasikan dalam reaksi secara
real time sesudah setiap siklus amplifikasi selesai.
g. ELISA adalah
salah satu metode yang sederhana, mudah dilakukan, cepat, sensitif, akurat, dan
dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah banyak. Cara kerja ELISA
didasarkan pada konjugasi antara virus, antibodi, dan enzim, dengan menambahkan
substrat pewarna.
2. JELASKAN 3 METODE UNTUK MENDETEKSI BRUCELLOSIS YANG
DISEBUTKAN DI ATAS! (INFORMASI KELEBIHAN DAN KEKURANGAN)
A. Uji Bakteriologis
B. Uji Serologis
C. Uji Molekuler
3. BUAT
ILUSTRASI SEDERHANA DARI HASIL PENEMUAN DI ATAS, MENGAPA MEREKA MENUNJUKKAN
HASIL YANG BERVARIASI DARI MASING-MASING METODE?
Gambar 1. Bagan hasil pengujian dengan beberapa metode
Pada pemeriksaan secara serologis dengan ELISA, semua sampel positif Brucellosis. Sedangkan setelah sampel
dikultur hanya 37 sampel yang positif. Hal ini berarti kultur atau cara
bakteriologi kurang sensitif dibandingkan dengan ELISA.
Dari 37 sampel positif yang diperiksa dengan kultur, hanya 25 sampel
positif dengan PCR, dan 26 positif dengan Real-Time PCR. Hal ini berarti cara
kultur lebih sensitif dari pada PCR ataupun Real-time PCR. Namun dari hasil 16
sampel negatif dengan kultur, ternyata positif saat diperiksa dengan PCR dan
Real-time PCR yakni berturut-turut 8 positif sampel dan 9 positif sampel. Sehingga,
meskipun kultur menunjukkan sensifitas yang lebih bagus dari pada PCR, beberapa
hewan ditemukan positif dengan metode serologis dan tes PCR, sedangkan negatif
dengan kultur.
Sampel yang diperiksa dengan Real-time PCR lebih tinggi angka positifnya
dari pada PCR. Hal ini karena Real-time PCR dapat digunakan untuk menghitung
DNA yang dianalisis dan lebih spesifik.
4. BERDASARKAN PENDAPAT KELOMPOKMU, METODE DETEKSI APA
YANG TERBAIK DAN COCOK UNTUK MENDETEKSI BRUCELLOSIS? JELASKAN!
Dalam kasus di atas aplikasi simultan dari 2 metode deteksi langsung
(kultur dan PCR) lebih bermanfaat dari pada tes tunggal untuk mendiagnosa Brucella sp.
Menurut kelompok kami, metode ELISA sangat efektif untuk digunakan
sebagai pendeteksi Brucellosis, namun dengan pertimbangan biaya, bahwa uji
ELISA sangat mahal, sehingga metode terbaik adalah mengkombinasikan dengan
beberapa metode aplikatif dilapangan, yakni dengan pengujian RBT. Apabila
ditemukan sampel positif dengan RBT, maka sampel harus dikonfirmasi ulang
dengan pengujian kultur atau uji yang lebih spesifik yakni dengan CFT, ELISA
atau dengan PCR.
Hal ini karena pengujian RBT sangat sensitif seperti halnya dengan uji
kultur. Namun tidak semua sampel positif tersebut benar-benar terdeteksi
Bricellosis, sehingga perlu uji yang sangat spesifik untuk menegakkan diagnosa.
5. BERIKAN KESIMPULAN
BERDASARKAN KASUS DIATAS!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar