Selasa, 16 Desember 2014

TEKNIK ANALISA BIOMOLEKULER BRUCELLOSIS

SORRY MY TASK DONT COMPLETE. JUST FOR LEARN

STUDI KASUS
TABM “BRUCELLOSIS”

 

OLEH:
SITI NURJANNAH 115130100111001
PUTIK CHIPTADINING 115130101111001
NUR LAILATUL MUFIDA 115130101111014
FERRIANTO DKW 115130101111022
EKA NORA VITALOKA 115130101111017



PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013



STUDI KASUS
            Brucellosis adalah penyakit infeksius yang tinggi yang menginfeksi baik manusia maupun hewan. Peralatan standar yang biasa digunakan untuk mediagnosa bakteri ini dengan uji serologis dan uji mikrobiologis. Di kasus ini kita mengevaluasi kemungkinan uji molekuler sebagai alat diagnosa untuk mendeteksi Brucella sp pada susu kerbau. Tujuannya, pertama kita membandingkan perbedaan protokol ekstraksi DNA dan metode PCR pada sampel susu buatan. Metode paling sensitif yang digunakan untuk memeriksa susu serologis positif dan negatif susu. Hasil dari molekuler dibandingkan dengan hasil serologis dan bakteriologis. Diambil 53 Susu sampel dari susu yang positif brucella (dengan rose bengal dan CFT) adalah positif dengan ELISA, 37  positif dengan kultur, 33 positif dengan PCR, dan 35 positif dengan real-time PCR. Dari 37 kultur sampel positif, total 25 positif dengan PCR dan 26 positif dengan real-time PCR. Dari 16 sampel negatif kultur, 8 positif dengan PCR dan 9 positif dengan real-time PCR. Demikian, meskipun Kultur menunjukkan sensivitas yang lebih bagus daripada PCR, beberapa hewan ditemukan positif dengan metode serologis dan tes PCR, negatif dengan kultur susu. Kombinasi dari penggunaan tes bakteriologis dan molekuler meningkatkan angka positif sampel hingga 46. Kesimpulannya, hasil itu menyarankan bahwa aplikasi simultan dari 2 metode deteksi langsung (kultur dan PCR) lebih bermanfaat daripada tes tunggal untuk mendiagnosa Brucella sp. pada susu.
1. TERMINOLOGI
a. Brucellosis adalah penyakit hewan menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder beberapa jenis hewan lainnya dan manusia. Brucellosis disebabkan bakteri Brucella abortus. Abortus karena Br. abortus umumnya terjadi dari bulan ke-6 sampai ke-9 periode kebuntingan. Kejadian abortus berkisar antara 5-90% di dalam suatu kelompok ternak tergantung pada berat ringan infeksi, daya tahan hewan bunting, virulensi organisme dan faktor-faktor lain (Toelihere, 1985).

b. Protokol ekstraksi atau isolasi asam nukleat merupakan teknik yang melibatkan proses fisik dan kimia. Proses tersebut biasanya dimulai dengan homogenisasi jaringan untuk meningkatkan jumlah sel atau permukaan area yang akan dilisiskan. Homogenisasi jaringan sangat berguna untuk mengekstrak asam nukleat dari organ atau jaringan. Langkah selanjutnya biasanya adalah permeabilisasi sel target. Permeabilisasi sel dapat dilakukan dengan menggunakan detergen non-ionik (sehingga tidak mengikat asam nukleat) seperti Tween, SDS (Sodium Dodecyl Sulfate), Nonidet, Laureth dan Triton. Untuk melepaskan asam nukleat di dalamnya sel perlu dilisiskan terlebih dahulu (biasanya menggunakan bufer hipotonik). Langkah selanjutnya berupa degradasi dan presipitasi protein (dengan pemanasan, enzime proteinase atau dengan menggunakan garam chaotropic). Asam nukleat yang diperoleh dapat dipresipitasi untuk dikonsentrasikan ke dalam volume yang lebih kecil. Presipitat yang sering digunakan adalah isopropanol, etanol, dan PEG (polyethylene glycol). Setelah dilakukan pencucian, langkah terakhir adalah solubilisasi asam nukleat.
c. PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer, dan dilakukan di dalam thermocycler. PCR adalah suatu metode yang menggunakan komponen-komponen replikasi DNA untuk mereplikasi suatu fragmen DNA yang spesifik di dalam tabung reaksi. Metode ini dikembangkan untuk mempercepat isolasi DNA spesifik tanpa membuat dan melakukan pustaka genom. Dua primer oligonukleotida pendek digunakan untuk mengapit daerah DNA yang akan diamplifikasi.
d. Rose Bengal Test (RBT) adalah salah satu dari kelompok pengujian yang menggunakan antigen Brucella, pengujian ini mengandalkan prinsip dari kemampuan antibodi IgM dalam mengikat antigen dalam serum. RBT merupakan pengujian dengan menggunakan cara aglutinasi dengan cara mereaksikan antigen dan antibodi, setiap aglutinasi yang dihasilkan mendakan positip reaksi. Pengujian ini merupakan screening test yang sangat baik tetapi juga sangat sensitif untuk diagnosa hewan individu terutama hewan yang divaksinasi (WHO 2006). Pengujian ini merupakan uji cepat aglutinasi yang hanya dalam waktu kira-kira 4 menit bisa dilihat hasilnya.
e. CFT merupakan uji serologis yang  memungkinkan mendetekasi antibodi yang dapat mengaktifkan komplemen. Imunoglobulin pada sapi yang dapat diaktifkan oleh komplemen ini adalah IgM dan IgG. Menurut beberapa literatur CFT ini tidak menunjukan sensitivitas yang tinggi tetapi menunjukan spesifisitas yang tinggi (Godfroid 2010). Reaksi positif tidak dapat membedakan antara hewan yang divaksin dan infeksi alam (Dirkeswan 2000)
f. Real-Time PCR adalah suatu metode analisa yang dikembangkan dari reaksi PCR. Real time ini juga dikenal sebagai quantitative real time polymerase chain reaction atau Q-PCR. Dimana teknik ini digunakan untuk mengamplifikasi (memperbanyak) sekaligus menghitung (kuantifikasi) jumlah target molekul DNA hasil amplifikasi tersebut. Real time PCR memungkinkan dilalukan deteksi dan kuantifikasi (sebagai nilai absolut dari hasil perbanyakan DNA atau jumlah relatif setelah dinormalisasi terhadap input DNA atau gen-gen penormal yang ditambahkan) sekaligus terhadap sequens spesifik dari sampel DNA yang dianalisis. Pada analisa PCR konversional deteksi keberadaan DNA dilakukan pada akhir reaksi dan pengamatan keberadaan DNA hasil amplifikasi dilakukan di gel agarose setelah dilakukan proses elektroforesis. Sedangkan analisa menggunakan Real Time PCR memungkinkan untuk dilakukan pengamatan pada saat reaksi berlangsung, keberadaan DNA hasil amplifikasi dapat diamati pada grafik yang muncul sebagai hasil akumulasi fluoresensi dari probe(penanda). Pada Real Time PCR pengamatan hasil tidak lagi membutuhkan tahap elektroforensis, sehingga tidak lagi dibutuhkan gel agarose dan penggunaan Ethidium Bromide (EtBr) yang merupakan senyawa karsinogenik. Cara kerja dari Real Time mengikuti prinsip umum reaksi PCR, utamanya adalah DNA yang telah diamplifikasi dihitung setelah diakumulasikan dalam reaksi secara real time sesudah setiap siklus amplifikasi selesai.
g. ELISA adalah salah satu metode yang sederhana, mudah dilakukan, cepat, sensitif, akurat, dan dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah banyak. Cara kerja ELISA didasarkan pada konjugasi antara virus, antibodi, dan enzim, dengan menambahkan substrat pewarna.

2. JELASKAN 3 METODE UNTUK MENDETEKSI BRUCELLOSIS YANG DISEBUTKAN DI ATAS! (INFORMASI KELEBIHAN DAN KEKURANGAN)
A. Uji Bakteriologis
B. Uji Serologis
C. Uji Molekuler

3. BUAT ILUSTRASI SEDERHANA DARI HASIL PENEMUAN DI ATAS, MENGAPA MEREKA MENUNJUKKAN HASIL YANG BERVARIASI DARI MASING-MASING METODE?



 Gambar 1. Bagan hasil pengujian dengan beberapa metode

Pada pemeriksaan secara serologis dengan ELISA, semua sampel positif Brucellosis. Sedangkan setelah sampel dikultur hanya 37 sampel yang positif. Hal ini berarti kultur atau cara bakteriologi kurang sensitif dibandingkan dengan ELISA.
Dari 37 sampel positif yang diperiksa dengan kultur, hanya 25 sampel positif dengan PCR, dan 26 positif dengan Real-Time PCR. Hal ini berarti cara kultur lebih sensitif dari pada PCR ataupun Real-time PCR. Namun dari hasil 16 sampel negatif dengan kultur, ternyata positif saat diperiksa dengan PCR dan Real-time PCR yakni berturut-turut 8 positif sampel dan 9 positif sampel. Sehingga, meskipun kultur menunjukkan sensifitas yang lebih bagus dari pada PCR, beberapa hewan ditemukan positif dengan metode serologis dan tes PCR, sedangkan negatif dengan kultur.
Sampel yang diperiksa dengan Real-time PCR lebih tinggi angka positifnya dari pada PCR. Hal ini karena Real-time PCR dapat digunakan untuk menghitung DNA yang dianalisis dan lebih spesifik.

4. BERDASARKAN PENDAPAT KELOMPOKMU, METODE DETEKSI APA YANG TERBAIK DAN COCOK UNTUK MENDETEKSI BRUCELLOSIS? JELASKAN!
Dalam kasus di atas aplikasi simultan dari 2 metode deteksi langsung (kultur dan PCR) lebih bermanfaat dari pada tes tunggal untuk mendiagnosa Brucella sp.
Menurut kelompok kami, metode ELISA sangat efektif untuk digunakan sebagai pendeteksi Brucellosis, namun dengan pertimbangan biaya, bahwa uji ELISA sangat mahal, sehingga metode terbaik adalah mengkombinasikan dengan beberapa metode aplikatif dilapangan, yakni dengan pengujian RBT. Apabila ditemukan sampel positif dengan RBT, maka sampel harus dikonfirmasi ulang dengan pengujian kultur atau uji yang lebih spesifik yakni dengan CFT, ELISA atau dengan PCR.
Hal ini karena pengujian RBT sangat sensitif seperti halnya dengan uji kultur. Namun tidak semua sampel positif tersebut benar-benar terdeteksi Bricellosis, sehingga perlu uji yang sangat spesifik untuk menegakkan diagnosa.


5. BERIKAN KESIMPULAN BERDASARKAN KASUS DIATAS!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar